Cilegon, Aroma ketidakadilan tercium kuat dari Lingkungan Priuk, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon. Ratusan warga yang telah menempati lahan selama puluhan tahun kini hidup dalam bayang-bayang intimidasi, penggusuran paksa, dan ketidakpastian hukum.
Mereka bukan pendatang baru. Sejak 1988, kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Lapak tumbuh dari rawa dan bekas pemakaman Tionghoa menjadi lingkungan padat penduduk yang mandiri. Warga membangun rumah, masjid, mushola, PAUD, hingga posyandu semuanya dilakukan dengan swadaya tanpa pernah ada konflik atau klaim kepemilikan.
Namun, pada tahun 2022, muncul klaim sepihak atas nama seseorang bernama Hartono, yang mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut dengan menunjukan fotokopi sertifikat hak milik (SHM) No. 528, 525, dan 516. Tak satu pun bukti asli pernah diverifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Cilegon.
Yang lebih mencengangkan, dokumen negara berupa buku tanah sebanyak 57 bidang justru diketahui berada di tangan Ketua LSM BMPP Kota Cilegon, Deni Jueni. Fakta ini memunculkan dugaan serius adanya kebocoran dokumen negara dan praktik kolusi antara oknum BPN, LSM, serta kelompok bisnis tertentu.
Pemagaran Paksa dan “Uang Kerohiman” yang Tak Manusiawi
Sejak awal tahun 2023, intimidasi terhadap warga semakin brutal. Akses keluar masuk ditutup dengan tembok beton setinggi 2,5 meter. Rumah-rumah diratakan, pedagang kecil di sekitar Mall Ramayana dipaksa menerima uang “kerohiman” antara Rp2 juta hingga Rp15 juta jumlah yang jauh dari layak untuk rumah dan usaha yang dibangun selama puluhan tahun.
Tragisnya, dua warga dilaporkan meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan rumah ketika dipaksa membongkar sendiri tempat tinggalnya. Tidak ada pendampingan hukum, tidak ada surat pengadilan, tidak ada keadilan.
Ketua Umum Aliansi Banten Birokrasi Angkat Bicara
Ketua Umum Aliansi Banten Birokrasi (ABB), H. Suwarni, mengecam keras praktik penggusuran yang ia sebut sebagai bentuk kezaliman yang dilegalkan oleh kekuasaan.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi tragedi kemanusiaan. Hukum di Cilegon seolah bisa dibeli. Rakyat yang telah 35 tahun membangun kehidupannya di Kampung Lapak dipaksa pergi tanpa putusan pengadilan, sementara oknum yang membawa dokumen negara malah bebas beroperasi,” ujar H. Suwarni, Selasa (11/11/2025).
Ia juga menyoroti lemahnya sikap pemerintah daerah yang terkesan membiarkan situasi semakin panas.
“Negara harus hadir bukan sebagai algojo, tapi pelindung rakyatnya. Kami mendesak Walikota dan Forkopimda Cilegon untuk memastikan mediasi pada Rabu, 12 November 2025, menghadirkan Hartono — pihak yang mengaku pemilik lahan — agar persoalan ini diselesaikan secara hukum, bukan dengan tekanan dan kekerasan,” tegasnya.
Menurut Suwarni, ABB bersama Sekjen Aris Munandar dan tim lapangan telah mengawal kasus ini sejak awal. Ia menyatakan pihaknya akan terus mendukung perjuangan warga hingga keadilan ditegakkan.
“Hentikan penggusuran ilegal, bongkar mafia tanah, dan pulihkan hak-hak warga Kampung Lapak. Karena di atas setiap sertifikat yang dipalsukan, ada nyawa dan air mata manusia yang tak ternilai oleh uang,” tutup H. Suwarni.
Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Kasus ini menyorot tajam lemahnya penegakan hukum di daerah. Warga yang melapor justru dipanggil dan diperiksa oleh Polda Banten, sementara pihak yang diduga melakukan intimidasi tetap bebas melakukan pemagaran dan perusakan rumah warga.
Padahal, penggusuran tanpa putusan pengadilan jelas melanggar UU No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin, serta bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 36 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menjamin hak setiap orang atas tempat tinggal dan perlindungan hukum yang setara.
Ujian Moral bagi Pemerintah Cilegon dan Banten
Pemerintah Kota Cilegon dan Pemerintah Provinsi Banten kini dihadapkan pada ujian moral dan politik: berpihak kepada rakyat atau tunduk pada kekuatan uang. Jika kasus ini dibiarkan, ia akan menjadi preseden buruk bagi ribuan warga Banten lain yang tinggal di lahan turun-temurun tanpa sertifikat formal.
Kampung Lapak bukan sekadar lokasi sengketa ia telah menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kesewenang-wenangan struktural. Di balik tembok beton, masih ada air mata, harapan, dan tekad untuk tidak menyerah pada ketidakadilan.
















