CILEGON- Persoalan sengketa tanah di Blok Cangkring C No. 262, Kelurahan Kedaleman, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, semakin memanas. Kasus yang melibatkan ahli waris almarhum Sapeni bin Sangid ini sudah lama bergulir tanpa kejelasan. Lambannya respons Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cilegon memicu aksi protes hingga penyegelan lahan oleh ahli waris yang difasilitasi Laskar Pendekar Banten Sejati (LAPBAS) Indonesia.
Konflik ini bermula ketika muncul klaim kepemilikan dari pihak lain yang disebut mewakili seorang bernama Ratu Anaa. Ahli waris menegaskan mereka tidak pernah menjual tanah tersebut. Upaya mediasi yang dijanjikan BPN pada audiensi 9 Desember 2024 pun tak kunjung terealisasi.
Ultimatum 23 Februari 2025

Pada 23 Februari 2025, keluarga ahli waris melalui DPP LAPBAS Indonesia melayangkan surat resmi bernomor 038/DPP-LPBS/II/2025 kepada BPN Kota Cilegon. Surat itu mendesak BPN segera menyelesaikan sengketa tanah dengan tenggat waktu 2×24 jam. Jika tak ada tindak lanjut, ahli waris mengancam akan melakukan penguasaan langsung.
Penyegelan Paksa 27 Februari 2025
BPN tak kunjung memberi jawaban. Kekecewaan pun memuncak. Ahli waris bersama LAPBAS melakukan penyegelan paksa lahan dengan memasang plang kepemilikan dan bendera sebagai simbol penguasaan. Aksi itu juga menjadi bentuk protes keras atas dugaan kelalaian dan sikap tidak kooperatif BPN.
Dalam aksi tersebut, beberapa ahli waris bahkan menitikkan air mata seraya berharap Presiden dan Kapolri turun tangan menegakkan keadilan. Mereka menilai BPN gagal melaksanakan kewenangan yang seharusnya menjamin kepastian hukum.
Janji yang Tak Pernah Ditepati
Sehari setelah penyegelan, 28 Februari 2025, ahli waris kembali menegaskan kekecewaannya. Janji penyelesaian sengketa yang disampaikan pejabat BPN sejak Desember 2024 dinilai hanya retorika. Alih-alih memberi kepastian, BPN justru dianggap semakin memperkeruh keadaan dengan sikap abai.
Pencabutan Paksa Plang, 1 Maret 2025
Ketegangan meningkat saat plang kepemilikan yang dipasang ahli waris dicabut paksa oleh pihak tak dikenal. Bagi ahli waris, tindakan ini adalah intimidasi dan upaya menghapus jejak perjuangan mereka. LAPBAS menilai pencabutan tersebut sebagai bentuk arogansi oknum yang memperuncing konflik.
Ketua Umum Lapbas Kawal Sengketa Lahan
Sengketa lahan ini resmi dilaporkan ke Polda Banten sejak 11 September 2025 oleh Ketua Umum LAPBAS Indonesia, H. Tubagus Endang S. Hingga Kamis (2/10/2025), kasus tersebut masih berproses. Persoalan kian rumit setelah muncul klaim sertifikat kepemilikan tanah oleh seseorang berinisial R, yang menurut ahli waris tidak memiliki dasar hukum kuat.
Upaya mediasi yang diinisiasi BPN tak membuahkan hasil, meski sebelumnya sempat ada aksi demonstrasi di kantor BPN untuk mendesak penyelesaian. Janji pemanggilan pihak terkait juga tak kunjung terealisasi.
Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Umum LAPBAS memilih jalur hukum. Menurutnya, seluruh bukti kepemilikan tanah sudah lengkap dan telah diserahkan kepada penyidik. “Kami berkomitmen mengawal kasus ini sampai tuntas. Tidak boleh ada pembiaran,” tegas Tubagus Endang.
LAPBAS bahkan sempat berencana memasang plang tanda tanah sengketa di lokasi, namun langkah itu dibatalkan karena perkara sedang ditangani resmi oleh Polda Banten. Meski begitu, organisasi masyarakat ini menegaskan tetap akan melakukan pendampingan hingga putusan hukum final keluar.
Harapan Ahli Waris
Meski perjalanan panjang sengketa tanah ini belum menunjukkan titik terang, para ahli waris tetap berharap aparat penegak hukum, khususnya Polda Banten, dapat segera menuntaskan kasus tersebut. Mereka menegaskan kembali bahwa tanah warisan keluarga Sapeni bin Sangid tidak pernah diperjualbelikan kepada pihak mana pun.
Dengan semakin menguatnya dukungan organisasi masyarakat dan pendampingan hukum, ahli waris menegaskan tidak akan mundur. “Kami akan kawal sampai selesai, ke mana pun perjuangan ini dibawa. Keadilan harus ditegakkan,” tutup Tubagus Endang.
(Ganjar Cilegon)