KABARBAHRI.CO.ID | Kabupaten Tangerang – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi peserta didik justru menuai sorotan tajam. Hal ini menyusul temuan tak sedap di SMA Negeri 19 Balaraja, Kabupaten Tangerang, pada Senin, 13 Oktober 2025. Dalam sajian makanan MBG yang dibagikan kepada siswa, ditemukan adanya ulat dalam sayuran yang disajikan. Kejadian ini sontak memunculkan kekhawatiran akan kualitas, kebersihan, dan pengawasan terhadap makanan yang dikonsumsi oleh pelajar.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Makanan Bergizi Gratis Bercampur Ulat, Keamanan Konsumsi Siswa Dipertanyakan

Dalam sebuah unggahan video, tampak seorang siswi menunjuk ulat yang bercampur dalam sayur sambil berkata, “Mana ulatnya?” memperlihatkan secara langsung kondisi makanan yang dikonsumsi siswa. Temuan ini pun memantik reaksi keras dari masyarakat serta menyorot pelaksanaan teknis program MBG di lapangan.

Poto sayur ada ulat nya 

Saat dikonfirmasi, pihak sekolah melalui Wakil Humas SMAN 19 Balaraja, Roni, mengaku baru mengetahui adanya kontaminasi tersebut. Ia menegaskan bahwa sekolah hanya berperan sebagai penyalur dan tidak terlibat dalam proses pengolahan makanan.

“Kami baru tahu informasi ini karena sebelumnya belum ada laporan masuk ke kami. Sekolah hanya mendistribusikan makanan sesuai yang dikirim,” ujar Roni. Ia pun menambahkan, “Kami mengucapkan terima kasih atas informasinya.”

Roni menyebut bahwa makanan MBG tersebut dipasok dari Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Balaraja 2, yang berlokasi di Jln. Raya Kresek No. 69, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja.

Namun, saat tim awak media berupaya meminta penjelasan resmi kepada pihak SPPG Balaraja 2, tidak satu pun dari jajaran inti manajemen bersedia memberikan keterangan. Asisten lapangan yang ditemui di lokasi, Yoga, menyampaikan bahwa seluruh tim inti SPPG, termasuk penanggung jawab, akuntan, dan ahli gizi, tengah mengikuti rapat di luar area.

“Mas Ici lagi rapat, Pak. Termasuk penanggung jawab, akuntan, dan ahli gizi juga,” ujar Yoga. Namun ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, pihak yang disebut (Ici) tidak memberikan tanggapan sama sekali. Sikap bungkam ini semakin mempertegas kesan minimnya transparansi dalam pengelolaan program MBG.

Yoga mengklaim bahwa proses pengolahan makanan di SPPG telah melalui sistem Quality Control (QC) atau pemorsian yang ketat, dan menyebut bahwa ada dua personel khusus untuk proses tersebut: Bagas dan Nita. Namun, saat ditanya lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kedua petugas QC tersebut telah pulang. Pernyataan ini justru memperkuat kesan ketidaksiapan sistem pengawasan, terutama ketika insiden nyata telah terjadi namun tidak ada pihak yang bisa bertanggung jawab secara langsung.

“QC ada dua orang, tapi sekarang sudah pulang,” ujarnya singkat. Ketidaksesuaian antara pernyataan dan kenyataan di lapangan memperlihatkan celah besar dalam sistem kontrol kualitas makanan.

Ironisnya, ketika ditanya apakah para pekerja dapur sudah mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) sebagai prasyarat kompetensi kerja di bidang penyajian makanan, Yoga hanya menjawab, “Kalau saya sudah, Bang.” Namun saat ditelusuri lebih lanjut mengenai status bimtek pekerja lainnya, ia enggan memberikan jawaban tegas dan beralasan bahwa “pekerjanya sering keluar-masuk.” Pernyataan yang tentu menimbulkan pertanyaan besar akan kepatuhan terhadap regulasi.

Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta regulasi teknis dari Dinas Kesehatan, seluruh tenaga kerja di bidang pengolahan makanan publik diwajibkan mengikuti bimtek dan sertifikasi kelayakan sanitasi sebelum terjun ke lapangan. Tanpa pelatihan dasar ini, risiko kontaminasi dan ketidaksesuaian standar pangan menjadi keniscayaan.

Kondisi makanan yang ditemukan bercampur ulat tentu bukan hanya mencederai semangat program MBG, namun juga berpotensi menimbulkan dampak kesehatan serius bagi siswa, seperti gangguan pencernaan hingga keracunan makanan. Jika tidak segera dilakukan evaluasi menyeluruh, insiden serupa bisa saja terulang, bahkan dengan dampak yang lebih fatal.

Kejadian ini sekaligus menjadi alarm keras bagi semua pihak yang terlibat dalam rantai pengolahan makanan, mulai dari dapur SPPG, pengawas QC, hingga instansi pemerintah daerah. Transparansi, tanggung jawab, serta penegakan standar mutu makanan tidak bisa dinegosiasikan, apalagi jika menyangkut asupan gizi ribuan pelajar setiap harinya.

Dalam waktu dekat, tim awak media akan melakukan konfirmasi lebih lanjut kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang terkait standar operasional dapur MBG, legalitas tenaga kerja, serta pengawasan teknis terhadap penyedia makanan program pemerintah ini.

Reporter: S. Eman