KABARBAHRI.CO.ID | Kabupaten Tangerang — Ketika Pemerintah Provinsi Banten gembar-gembor membangun infrastruktur demi kesejahteraan rakyat, sebuah proyek di Desa Bunar, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, justru menyuguhkan pemandangan menyakitkan: proyek paving blok yang lebih pantas disebut proyek setengah hati. Anggaran ratusan juta digelontorkan, tapi hasilnya tak lebih dari gurauan menyedihkan, Minggu (7/9/2025).
Dengan nilai kontrak sebesar Rp188.410.000 dari APBD Provinsi Banten Tahun Anggaran 2025, proyek peningkatan PSU di Kampung Bojong Pinang RW 03 seharusnya menjadi motor penggerak kenyamanan warga. Namun fakta di lapangan berkata lain: mutu pekerjaan amburadul, standar teknis diinjak-injak, dan semangat pembangunan berubah jadi noda busuk dugaan korupsi terselubung.

Investigasi yang dilakukan langsung oleh tim awak media, menemukan kejanggalan mencolok. Lapisan basecourse (elemen vital dalam konstruksi paving) hanya ditebar di sisi pinggir, sementara bagian tengah dibiarkan bertumpu pada tanah alami tanpa pemadatan. Permukaan jalan bergelombang dan tampak dikerjakan tanpa perencanaan matang.
“Iya bang, basecourse-nya cuma di pinggir-pinggir. Soalnya tanahnya udah padat,” ujar salah seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya, mengaku berasal dari Kecamatan Jayanti.
Dalih murahan seperti ini melecehkan akal sehat. Apakah ratusan juta rupiah bisa dicuci bersih hanya dengan klaim “tanah sudah padat”? Jika iya, maka ini bukan lagi urusan teknis, tapi soal moralitas yang runtuh.
Proyek ini dikerjakan oleh PT Razka Dua Samudra, perusahaan yang semestinya memiliki kredensial dan pengalaman dalam dunia konstruksi. Namun bukannya hasil kerja profesional, justru kesan asal-asalan dan kurang pengawasan yang muncul ke permukaan.
Sejumlah pekerja menyebut bahwa pihak pelaksana jarang hadir di lokasi. Bahkan, pengawasan dari konsultan maupun dinas terkait hampir tidak tampak.
“Pelaksana-nya jarang ke lokasi, Bang,” cetus salah satu pekerja yang tengah memotong paving di lokasi. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, tapi sinyal keras atas lemahnya kontrol dan potensi manipulasi lapangan.
Nama H. Ubed disebut sebagai pemborong atau pelaksana proyek. Namun saat dikonfirmasi via WhatsApp, pesan yang dikirimkan tak kunjung dibalas. Tak ada klarifikasi. Tak ada tanggapan. Yang tersisa hanyalah tanda tanya besar: apa yang sebenarnya sedang disembunyikan?
Lebih jauh, sorotan tajam juga diarahkan pada aspek keselamatan kerja. Beberapa pekerja tampak bekerja tanpa alat pelindung diri (APD). Rompi keselamatan digantung di pagar, helm keselamatan tak terlihat, sepatu proyek pun nihil.
Ini bukan kelalaian semata. Ini adalah pengabaian terang-terangan terhadap norma keselamatan kerja, sekaligus cermin dari minimnya etika profesional dalam proyek yang menggunakan uang rakyat.
Indikasi paling serius dari proyek ini adalah dugaan pengurangan volume pekerjaan. Basecourse yang tidak merata, pemadatan yang nihil, hingga hasil akhir yang di bawah standar, semua mengarah pada satu pertanyaan besar: apakah anggaran yang dikucurkan benar-benar diwujudkan ke dalam bentuk fisik, atau ada sebagian yang “dihilangkan” dengan sengaja?

Jika dugaan ini terbukti, maka proyek ini bukan sekadar proyek gagal. Ini adalah bentuk kejahatan terhadap rakyat, dan harus disikapi dengan penyelidikan menyeluruh oleh aparat hukum.
Proyek PSU bukan tempat bermain bagi oknum serakah. Ini adalah ruang pengabdian dan kepercayaan publik. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka yang dirampas bukan hanya uang negara, tapi juga kepercayaan rakyat pada institusi yang seharusnya melindungi mereka.
Pemerintah Provinsi Banten, Dinas Perkim, hingga aparat penegak hukum wajib turun tangan dan mengaudit proyek ini secara menyeluruh. Jika ditemukan unsur kesengajaan dalam penyimpangan pekerjaan, maka tidak ada alasan untuk tidak membawa para pelaku ke meja hijau.