Oleh:
DAR EDI YOGA
Wakil Bendahara Umum PWI Pusat 2018–2023
Artikel, KABARBAHRI.CO.ID | Cikarang, Bekasi — Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang digelar pada 29-30 Agustus 2025 lalu di Cikarang, Bekasi, menjadi babak baru dalam perjalanan organisasi wartawan tertua di Indonesia. Dalam suasana demokratis dan penuh dinamika, Akhmad Munir, Direktur Utama LKBN Antara, terpilih sebagai Ketua Umum PWI periode 2025-2030, mengantongi 52 suara, mengungguli Hendry Ch. Bangun yang meraih 35 suara. Sementara itu, Atal S. Depari didaulat menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI.
Kemenangan Munir bukan hanya persoalan angka. Ini merupakan sinyal kuat dari mayoritas anggota bahwa PWI membutuhkan arah baru—arah yang mampu mengembalikan marwah PWI sebagai rumah besar bagi seluruh wartawan Indonesia. Rumah yang bukan hanya menjadi tempat bernaung, tetapi juga menjadi ruang aman untuk dihargai, dilindungi, dan merasa memiliki.
Suara mayoritas itu adalah harapan agar organisasi ini tidak lagi terjebak dalam friksi internal, tetapi bangkit bersama menjawab tantangan zaman. Sebab, tanpa persatuan, sebesar apa pun nama PWI, ia hanya akan menjadi catatan sejarah yang usang.
Krisis internal yang terjadi sebelumnya bukan tanpa akibat. Saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Presiden Republik Indonesia tidak hadir dalam perayaan—tamparan keras bagi PWI dan seluruh insan pers. Momen itu menunjukkan betapa pentingnya soliditas dalam tubuh organisasi.
Kini, menjelang HPN 2026 yang akan digelar pada 7–9 Februari mendatang, nama besar PWI kembali dipertaruhkan. Di tengah harapan publik, PWI ditantang untuk menunjukkan wajah baru—organisasi yang solid, bersatu, dan mampu menjadi mitra strategis bangsa dalam memperkuat demokrasi dan kebebasan pers.
Namun demikian, jalan menuju persatuan tidak selalu mulus. Masih ada segelintir oknum yang enggan menerima hasil demokrasi, memilih memperkeruh suasana dengan narasi-narasi pesimistik dan penuh kecurigaan. Mereka lebih mementingkan ambisi pribadi ketimbang kepentingan bersama.
Dalam konteks ini, menjadi penting bagi seluruh anggota dan pengurus baru PWI untuk tidak terjebak dalam arus negatif tersebut. Fokus harus diarahkan pada misi besar: membangun dan merawat rumah besar PWI agar tetap kokoh di tengah gelombang zaman.
Kepemimpinan yang baru harus menjadi perekat, bukan pemisah. Semua pihak, termasuk yang berbeda pandangan dalam kongres, harus dirangkul. Karena pada hakikatnya, PWI bukan milik satu kelompok atau individu, melainkan milik seluruh wartawan Indonesia.
Jika momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat semangat kolektif, maka HPN 2026 tidak akan menjadi sekadar seremoni tahunan. Ia akan menjadi panggung kehormatan—ujian sejati bagi martabat pers nasional dan bukti bahwa PWI masih layak disebut rumah besar bagi insan pers tanah air.